Thursday, September 27, 2007

Pentingnya Pendidikan Jemaat

Dalam rangka mencapai kehidupan penyembahan dan ibadah yang sejati, gereja seringkali berfokus pada pendidikan para pelayan ibadah (liturgis, worship leader, pemusik, dan sebagainya). Namun justru melupakan jemaat sebagai pelaku penyembahan. Kita beranggapan bahwa dengan mendidik pelayan ibadah maka ibadah pun akan otomatis lebih baik.

Jemaat sebagai elemen utama ibadah justru harus juga dididik dalam ibadah. Paling tidak jemaat harus diajarkan mengenai esensi ibadah. Pertanyaan seperti apa itu ibadah? Apa yang kita lakukan dalam ibadah? Apa hubungan ibadah dengan iman dan kehidupan sehari-hari? Kemudian juga pemahaman jemaat terhadap unsur-unsur liturgi (pengakuan dosa, panggilan beribadah, dan sebagainya).

Tidak heran, banyak gereja merasa frustrasi ketika mereka sudah begitu rupa mempersiapkan pelayan ibadahnya, namun penyembahan jemaat terasa jalan di tempat. Tidak ada perubahan yang lebih baik. Salah satu sebab utamanya, sejauh pengamatan saya, karena gereja lupa atau lalai untuk mendidik jemaat dalam soal ibadah dan penyembahan.

Ibadah harus menjadi salah satu topik utama dalam kelas pembinaan jemaat. Dan esensi ibadah harus secara regular ditanamkan dan diingatkan kepada jemaat.

Monday, September 10, 2007


Musik Sebagai Alat Pengajaran

Paulus menuliskan, "Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu." Kolose 3:16 (bandingkan Efesus 5:19)

Pujian merupakan alat yang efektif dan strategis untuk mengajarkan doktrin dalam bahasa yang non-intimidating, memorable, dan accessible. Lebih dari itu, kebenaran dan keindahan bertemu dalam pujian. Musik secara estetis menguatkan kebenaran Allah. Mungkin, lagu rohani dapat menjadi ilustrasi yang bagus dari konsep Jonathan Edwards bahwa kebenaran Allah (kebenaran yang sejati) haruslah indah. Kebenaran Allah bukan sekedar pernyataan dingin dan hampa emosi.

Reformator penting seperti Calvin dan Luther menyadari peran vital dari musik rohani. Itu sebabnya, salah satu agenda terpenting mereka dalam membangun ibadah adalah dengan memperbaharui pemakaian dan repertoar lagu-lagu rohani. Calvin selalu menekankan bahwa sebuah lagu harus sederhana namun sekaligus memikat jemaat awam supaya mereka bisa menyanyikannya dalam kehidupan keseharian mereka. Lagu rohani yang hanya dapat dinyanyikan di gereja (mungkin karena terlalu sukar?!) bukanlah lagu rohani yang bagus.

Dampak praktis dari pemahaman ini antara lain kita, sebagai pengarang lagu dan pelayan musik, haruslah dapat mengartikulasikan kebenaran Tuhan dalam cara yang indah. Ini adalah hak istimewa sekaligus tanggung jawab besar. Kita tidak lagi hanya "memainkan musik yang indah" tapi "menyatakan kebenaran Tuhan (yang pada dirinya sendiri sudah indah) secara indah".

Saturday, June 09, 2007

Diam

Ketika kita membicarakan tentang elemen liturgikal, jarang kita memahami bahwa "diam" (silent) termasuk salah satu elemen. Apalagi dalam gaya ibadah kontemporer, elemen "diam" menjadi barang asing dan terasa tidak pas untuk keseluruhan model ibadah yang mengutamakan aliran (flow). Bagi penganut gaya ibadah kontemporer, elemen "diam" dapat menganggu jalannya aliran ibadah.

Dunia modern yang mengagungkan kecepatan, kesibukan dan hiburan juga turut menyumbangkan pengaruh kepada sikap kita terhadap "diam". Orang modern tidak suka dan tidak tahan terhadap "diam". Bagi mereka, "diam" adalah tidak produktif, pasif dan membosankan. Kita terlalu terbiasa dengan kebisingan dan kesibukan, sehingga kita tidak lagi menghargai "diam". Bahkan kita cenderung alergi terhadap "diam".

Kita tahu tentang gegap gempitanya suasana surgawi yang digambarkan oleh kitab Wahyu. Pujian dan sorak-sorai orang kudus bersama malaikat memenuhi tahta Allah. Namun, Wahyu 8:1 mencatat peristiwa yang berbeda, "Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketujuh, maka sunyi senyaplah di sorga, kira-kira setengah jam lamanya." Dahsyat! Seluruh gegap gempita surut dan seluruh makhluk masuk dalam keheningan yang total di hadapan hadirat Allah. Ternyata "diam" menjadi elemen liturgikal dalam liturgi surgawi! Perjanjian Lama pun mencatat betapa pentingnya "diam" ketika umat Allah beribadah di hadapan-Nya (Hab 2:20; Zef 1:7-8, 15-18; Zak 2:13).

Apa makna "diam" sebenarnya dalam liturgi? Maknanya dapat kita temui dalam pasal yang sama kitab Wahyu pada ayat 3, "Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus..." "Diam" tidak pernah berhenti sebagai sebuah kepasifan. "Diam" adalah momen liturgikal yang penting. Ini adalah momen bagi kita untuk terhenyak masuk dalam relung hati kita yang paling dalam dan intim dengan Allah, untuk menyampaikan doa kepada-Nya. "Diam" sangat bermanfaat untuk membangun dan mempertahankan sikap kekaguman terhadap Allah.

"Diam" dapat dimasukkan dalam liturgi terutama sebelum ibadah, sebelum/sesudah khotbah dan saat perjamuan kudus. Dengan "diam" kita memiliki kesempatan paling luas dan leluasa (karena bebas dari gangguan) untuk meresponi Allah dalam ruang hati kita dengan keseluruhan hati kita yang paling murni.

Thursday, May 31, 2007

Metafor Ibadah 2: Jendela

Jendela berfungsi untuk melihat "keluar" (beyond). Demikian pula ibadah. Ibadah dapat berfungsi sebagai jendela bagi kita untuk melihat realita surgawi yang "melampaui" realita duniawi. Ketika kita mengikuti ibadah, kita mengarahkan mata dan telinga rohani kita untuk menyaksikan dan mendengarkan Allah. Ibadah yang baik seharusnya memberikan kita banyak kesempatan untuk menjangkau realita rohani itu.

Supaya kita dapat menjangkau realita rohani dalam ibadah, kita perlu melatih imajinasi. Sayangnya, orang Kristen seringkali memandang sebelah mata akan fungsi dan arti penting imajinasi dalam ibadah. Imajinasi adalah fungsi pikiran kita yang sangat powerful dan indah. Saya rasa Paulus pun sering berimajinasi tentang realita surgawi, "Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka." (1 Kor 11:13)

Tentu saja, imajinasi kita harus tertib dan dipimpin Firman Tuhan. Membaca kitab Wahyu 4-5 dapat menjadi salah satu contoh bagaimana kita melatih imajinasi kita.
Awalnya memang tidak mudah untuk menghidupkan imajinasi dalam ibadah. Perlu latihan untuk memfokuskan pikiran dan memperkaya imajinasi.

Saya pun melatih imajinasi saya dalam ibadah. Ketika saya menyanyi, maka saya membayangkan bahwa saya di tengah lautan orang percaya yang mengumandangkan pujian bersama-sama kepada Tuhan. Ketika saya mendengarkan kalimat pengampunan dari liturgis, maka saya membayangkan Kristus sendiri yang mengucapkannya di atas kayu salib. Ketika saya menyambut doa berkat, maka saya membayangkan Kristus dengan lembut dan penuh kasih memeluk saya sambil menggenggam tangan saya sebelum saya "masuk kembali" ke dunia yang berdosa. Ibadah tidak akan pernah sama lagi bila kita mengikutinya dengan mata dan telinga rohani yang melibatkan imajinasi.

Jika ada pemandangan yang lebih indah di balik jendela, kita tidak mungkin menikmati jendelanya, bukan? Kita pasti ingin melihat pemandangan yang ada di balik jendela itu. Ironisnya, inilah kenyataan yang seringkali terjadi dalam ibadah. Kita lebih menyukai dan menikmati ibadah itu sendiri daripada kenyataan rohani yang tersedia melalui ibadah. Kita lebih menyukai gaya kepemimpinan liturgis atau worship leader. Kita lebih menikmati aspek musikal lagunya ketimbang menyelami kedalaman rohani lagu tersebut. Kita lebih menikmati gedung gerejanya. Semoga metafor ibadah sebagai jendela menyadarkan kita untuk beralih dari menikmati jendelanya ke pemandangan yang lebih indah di balik jendela itu yaitu Allah sendiri.

Friday, May 18, 2007

Eskatologi Dalam Perjamuan Kudus

Kebanyakan kita mengikuti perjamuan kudus dengan orientasi pada masa lalu: apa yang telah Kristus lakukan buat kita di atas kayu salib. Ditandai dengan lagu-lagu seputar kisah sengsara Kristus yang dinyanyikan saat perjamuan kudus. Tentu saja, konotasi ini tidak sepenuhnya salah. Namun, setelah belajar teologi sakramen, saya mulai menyadari bahwa perjamuan kudus juga menjadi momen yang agung untuk melihat "ke depan". Perjamuan kudus adalah pencicipan (foretaste) keindahan dan kenikmatan Kerajaan Surga yang akan sempurna ketika Tuhan Yesus datang kedua kalinya.

Perjamuan kudus berbentuk makanan dan minuman dan bukan suatu kebetulan bila Alkitab sering menggambarkan Kerajaan Surga sebagai jamuan makan. Tuhan Yesus sendiri memberikan perumpamaan perjamuan kawin (Matius 22:1-14). Dalam Wahyu 3:20-21, Tuhan Yesus melukiskan keintiman persekutuan antara Allah dan umat-Nya kelak seperti jamuan makan bersama. Lukisan ini digemakan kembali dalam Wahyu 19:6-10 sebagai jamuan Anak Domba.

Sesuai dengan budaya Yahudi, yang terpenting dalam jamuan makan adalah bukanlah apa yang dimakan atau tempat jamuan itu diadakan, tapi siapa yang ikut dalam jamuan itu. Dalam konteks ini, kita lebih mengerti sekarang kedalaman arti jamuan makan baik secara penggambaran dalam Alkitab atau sebagaimana yang dilakukan dalam perjamuan kudus. Allah ingin menekankan aspek kesatuan (union and communion) antara manusia dan Allah melalui perjamuan kudus.

Kesatuan kita dengan Allah yang terjadi secara spiritual dalam perjamuan kudus tidaklah sempurna. Oleh karena itu, ketika kita mengikuti perjamuan kudus, kita menanamkan kerinduan akan kedatangan Kristus yang kedua kali. Pada saat yang sangat mulia itu, kita akan mengalami kesatuan dengan Allah secara sempurna.

Setelah mempelajari aspek eskatologis perjamuan kudus, seorang sahabat saya dengan tulus dan antusias berkata bahwa doa yang patut dipanjatkan selama perjamuan kudus adalah, "Kristus, datanglah!" Karena dalam perjamuan kudus kita merasakan tegangan kehadiran Kerajaan Surga pada masa kini antara "already" dan "not yet". Setiap anak Tuhan yang hidup mengasihi Dia, pastilah menyimpan kerinduan akan kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Profesor saya bahkan memberikan usulan yang patut dipertimbangkan yaitu untuk menyertakan lagu bertemakan kedatangan Kristus yang kedua kali dalam perjamuan kudus.

Maranatha!

Tuesday, May 15, 2007

Lima Hal Tentang Talenta Musik

Keinginan untuk menjadi lebih trampil tidak cukup untuk menjadi seorang pemusik yang ilahi. Kita harus memiliki perspektif Allah dalam mengembangkan talenta kita. Setidaknya ada lima hal yang perlu kita ingat.

1. Talenta adalah pemberian Allah.
Tidak ada satu pun dari kita yang berhak mengklaim bahwa segala talenta adalah milik kita. Paul bertanya kepada jemaat di Korintus, "Apa yang kamu miliki tidak kamu terima? Jika kamu menerimanya, maka mengapa kamu bermegah seolah-olah kamu tidak menerimanya?" (1 Kor 4:7). Saya teringat percakapan dengan seorang mahasiswa yang sulit menerima kenyataan Allah harus menerima segala kemuliaan melalui talenta musiknya. Dia beralasan bahwa Allah bukanlah pihak yang berjam-jam bergumul dalam latihan musik. Mahasiswa tersebut tidak mengerti anugerah, yang mana bukan saja dalam bentuk talenta tapi juga kekuatan dan ketekunan untuk mengembangkan talenta. C.J. Mahaney berkata, "Setiap talenta dari Allah dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian kita kepada Allah dan menciptakan cinta yang baru kepada Allah."

2. Talenta harus dikembangkan.
Michael Jordan adalah salah satu pebasket terbesar sepanjang sejarah. Bertahun-tahun, dia menjadi inspirasi bagi semua pebasket lainnya. Namun, sedikit yang dapat menyamainya. Kenapa? Karena mereka lupa bahwa untuk melampaui kehebatan Jordan maka mereka harus bekerja lebih keras dan lebih lama ketimbang Jordan. Dibutuhkan waktu untuk mengembangkan talenta. Mereka harus menyadari bahwa talenta itu sendiri bukan segalanya. Demikian pula dengan kita. Seorang pemusik yang besar menyediakan banyak waktu untuk mendengarkan musik, melatih penjarian, bermain bersama pemusik lainnya, dan benar-benar mengembangkan talentanya. Tujuan utama latihan adalah bukan supaya kita dapat memainkannya dengan benar, tapi kita dapat memainkannya tanpa salah.

3. Memiliki talenta tidak menjadikan kita lebih baik daripada orang lain.
Saya menjelaskan pernyataan ini melalui dua hal. Pertama, selalu ada orang yang lebih bertalenta daripada saya. Namun, ini tidak berarti saya tidak dapat menjadi efektif dalam bidang itu. Ini hanya berarti betapa bagusnya saya, masih ada yang mengungguli saya. Kedua, walaupun Tuhan menghargai talenta kita, tapi Dia tidak menerima kita semata-mata dari talenta yang kita miliki. Meskipun, kita mampu memainkan progresi kord yang istimewa, menulis musik yang indah, memiliki empat oktaf suara, ktia tetap membutuhkan karya penebusan Kristus agar permainan musik kita dapat diterima sebagai persembahan yang berkenan di hati Allah (1 Pet 2:5)

4. Talenta harus dievaluasi oleh orang lain.
Walaupun saya sudah menjadi pemimpin ibadah selama tigapuluh tahun, saya tetap tidak dapat menilai diri dengan jujur apakah yang saya lakukan bermanfaat bagi orang lain dan area mana yang masih harus saya kembangkan. Saya mengucap syukur kepada Tuhan untuk segala umpan balik yang saya peroleh selama latihan dan setelah pelayanan. Apakah aransemen saya cukup baik? Apakah saya menyanyikan lagu tersebut terlalu banyak? Apakah bicara saya jelas? Apakah saya bermain musik terlalu menonjol? Kita membutuhkan mata dan telinga orang lain. Dievaluasi orang lain adalah pengalaman yang menjadikan kita rendah hati namun sangat berguna.

5. Talenta dan ketrampilan bukan akhir segalanya.
Talenta dapat dengan mudah menjadi tujuan dan fokus kita. Kalau sudah begitu, maka talenta menjadi berhala kita. Kita menjadi terobsesi untuk menjadi yang terbaik dan tidak sabar terhadap mereka yang lebih rendah talentanya. Kita tidak lagi mengutamakan persiapan rohani. Kita mendedikasikan diri kita sepenuhnya hanya untuk musik. Kita mengevaluasi kegagalan dan kesuksesan hanya berdasarkan teknis musik. Beberapa tahun lalu, saya membaca komentar seorang Pendeta, "Tuhan tidak mencari sesuatu yang brilian, tapi hati yang hancur."

(Terjemahan bebas dari artikel oleh Bob Kauflin di www.worshipmatters.com)

Apa Beda Pertunjukan dan Ibadah?

Apakah ada perbedaan antara ibadah dan pertunjukan? Saya percaya ada perbedaan besar, walaupun saya curiga bahwa budaya kita sekarang telah menyamakan keduanya.
Pertunjukan selalu berasal dari karya orang lain, untuk minat, kenikmatan, kesegaran, kesenangan saya. Pertunjukan yang bagus akan mendidik saya karena pertunjukan memakai ciptaan Allah untuk memperbaharui fisik, pikiran, dan emosi saya. Melalui pertunjukan (yang bagus!), sebagai seorang Kristen, saya dapat mengucap syukur kepada Tuhan karena pertunjukan pun adalah sebuah hadiah. Namun, semirip apapun sebuah pertunjukan dengan ibadah, pertunjukan tetap bukan ibadah yang kudus. Ibadah adalah karya kita, para penyembah, untuk kemuliaan dan kenikmatan Allah. Saya juga dididik (ditolong, diberkati, dikuduskan, dilayani) melalui menyembah Allah, karena segenap perhatian dan energi saya diarahkan untuk memahami, mengalami, dan meresponi siapa Allah dan apa yang Allah telah lakukan. Tentu saja, ibadah saya, karya saya untuk kemuliaan Allah, harus memiliki elemen yang mendatangkan kenikmatan untuk diri saya. Tapi kenikmatan ini mengandung "arti ibadah" yaitu ketika kenikmatan ini menuntun saya untuk lebih menyadari kehadiran Allah dan menolong saya dalam menyembah - kenikmatan saya adalah di dalam Tuhan! Sebaliknya, Agustinus pernah berkata bahwa segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Tuhan dalam penyembahan adalah dosa. (Terjemahan bebas dari Donald P. Hustad, True Worship: Reclaiming the Wonder and Majesty, hal.179-80)

Sunday, May 13, 2007

Merayakan Hari Ibu Dalam Kebaktian? Sebuah Pertanyaan tentang Solidaritas


Hari ini, seluruh dunia merayakan hari ibu. Di gereja saya, kami juga merayakannya dengan cara memberikan suvenir kepada para ibu. Pada saat kebaktian, liturgis akan meminta para ibu untuk berdiri. Kemudian, anak-anak Sekolah Minggu yang manis akan menghampiri satu per satu untuk menyerahkan suvenir. Tradisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun di gereja saya. Tentu saja, saya mendukung segala niat luhur untuk merayakan peran ibu di hari yang istimewa ini. Saya pun memberikan tanda cinta kepada mami saya pada hari ibu sedunia.

Namun, ditinjau dari aspek pastoral ibadah, apakah acara ini tidak menjadi "sandungan" bagi para wanita yang sulit memiliki anak? Betapa pesan penghargaan terhadap para ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anak mereka akan berbeda di telinga seorang wanita yang bertahun-tahun menantikan anak tapi tidak pernah "dianugerahi" satu pun. Saya membayangkan, seorang wanita yang setiap hari berdoa - tidak terhitung berapa kali dia marah, menangis, dan kecewa terhadap Tuhan karena sekian lama hidup tanpa kehadiran satu orangpun anak - menyaksikan para ibu lainnya yang lebih "beruntung" diberikan hadiah.

Seseorang mungkin memprotes saya: "Jim, itu salah wanita tersebut kalau sampai dia marah dan kecewa. Maksud kami kan baik dalam menyatakan penghargaan kepada kebanyakan ibu lainnya yang telah bersusah payah mengasuh anak-anak mereka." Persoalannya, pertanyaan saya adalah pertanyaan pastoral. Pertanyaan pastoral selalu dimulai dari apakah kita cukup peka terhadap mereka yang "lain", yang marginal, yang lebih "tidak beruntung"? Apakah kita cukup memberikan ruang di hati kita untuk memikirkan orang lain yang mungkin membaca dan menerima perayaan hari ibu sebagai "tamparan"?

Atau mari bayangkan kasus lain dimana seorang jemaat yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Mungkin karena sang ibu sudah terlebih dahulu wafat. Atau, ibunya menganiaya dia sejak kecil. Bagaimana mereka melihat acara perayaan hari ibu di atas?


Saya sendiri berpendapat bahwa lebih baik kita tidak terlalu berlebihan dalam merayakan hari ibu dalam kebaktian. Atau beberapa kalimat dari mimbar yang
addressing kenyataan adanya ibu-ibu (dan anak) yang tidak beruntung, mungkin akan sangat membantu. Setidaknya, menunjukkan kepekaan kita terhadap mereka.

Lebih baik Sekolah Minggu mengajarkan murid-murid mereka untuk menyatakan cinta kepada ibu mereka di rumah masing-masing, ketimbang secara publik memberikan suvenir di dalam kebaktian.

Saturday, May 12, 2007

Metafor Ibadah 1: Dialog antara Manusia dan Allah

Dalam tradisi Reformed, ibadah sebagai dialog antara manusia dan Allah adalah metafor yang paling sering digunakan. Sebagai dialog, maka ibadah yang sehat memiliki elemen-elemen yang memberi kesempatan kepada Allah untuk berbicara kepada manusia dan juga sebaliknya. Elemen seperti panggilan beribadah, khotbah, perjamuan kudus dan doa berkat tentunya merupakan elemen Allah berbicara kepada manusia. Sementara, doa syafaat dan pengakuan iman rasuli menjadi elemen manusia berbicara kepada Allah. Elemen pujian dapat berfungsi sebagai keduanya – tergantung syairnya.

Keunggulan metafor ibadah sebagai dialog antara lain:

1. Metafor ini menanamkan sikap anticipation dan teachibility dalam hati kita. Kita sadar bahwa Allah sendiri yang berbicara melalui pengkhotbah, paduan suara, pemimpin pujian.

2. Semua elemen ibadah menjadi penting. Tidak ada lagi alasan bagi mereka yang suka terlambat, “Yang penting kami mendengarkan khotbah!” Karena kita sadar bahwa Allah dapat berbicara melalui semua elemen sejak dari awal sampai akhir.

3. Metafor ini mengundang partisipasi penuh dari jemaat. Ibadah adalah dialog antara Allah dan seluruh umat-Nya. Ibadah bukan hanya antara Allah dan para pelayan mimbar.

Adapun kelemahan metafor ini adalah ia tidak memberikan ruang pada sikap discernment yang mana juga penting dan diharuskan oleh Firman Tuhan (1 Yoh 4:1). Metafor ini dapat melahirkan sikap naif dalam diri kita. Contohnya, kita akan cenderung reluctant menilai sejauh mana khotbah atau lagu masih biblikal dalam keseluruhan isinya.