Minggu, 17 November 2013

MELAYANI TUHAN DI SAMPING SUAMI ANDA

Sejak awal penciptaan, kehadiran seorang wanita memang memegang peranan penting di dunia. Sebagai seorang istri, wanita tidak hanya menjadi penolong suami, tetapi juga menjadi mitra kerja dalam melayani Tuhan. Akan tetapi, seorang istri harus memiliki pengertian yang benar tentang statusnya agar dapat menempatkan diri dengan tepat dalam memainkan perannya sebagai istri dan pelayan Tuhan. Sajian yang kami hadirkan bagi Anda dalam edisi ini, kiranya dapat menolong Anda dalam mendampingi para istri yang rindu melayani Tuhan tanpa menelantarkan keluarganya. Selamat menyimak dan membagikannya kepada sesama.

Entah membagikan buletin gereja setiap hari Minggu atau bergabung dalam pelayanan internasional yang sangat besar, semua orang Kristen memang dipanggil untuk melayani Allah dan gereja-Nya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Akan tetapi, kehidupan pernikahan memunculkan pertimbangan dan kesulitan lebih banyak ketika harus membedakan bagaimana dan di mana kita melayani. Dalam sebuah kutipan dari bukunya, "A Wife After God's Own Heart", Elizabeth George memberikan nasihat kepada para istri untuk melayani Allah bersama pasangan.

Bagaimana seorang istri menolong suaminya dalam melayani Tuhan? Bagaimana seorang istri melayani Tuhan jika suaminya tertinggal di belakang? Dan, bagaimana seorang wanita melayani Tuhan jika suaminya bukan orang Kristen?

1. Mulailah melayani orang-orang yang ada di rumah terlebih dahulu.

Selama bertahun-tahun, saya memiliki moto pribadi yang saya pegang setiap kali saya mendapat kesempatan untuk melayani orang lain dan gereja saya. Moto tersebut berbunyi, "Jangan berikan sesuatu kepada orang lain sebelum Anda memberikannya terlebih dahulu kepada orang-orang di rumah Anda." Ungkapan ini mengingatkan saya pada prioritas yang diberikan Allah setiap hari. Saya harus melayani suami dan anak-anak saya, yaitu memberikan kasih sayang saya kepada mereka yang ada di rumah terlebih dahulu. Setelah itu, baru membagikannya kepada orang lain -- bukan sebaliknya. Saya tahu, mudah sekali membalikkan urutannya. Demikian juga dengan wanita-wanita lain seperti Anda dan saya. Sebagai contoh, akhir-akhir ini, saya berbicara dengan seorang wanita yang telah mengundurkan diri dari posisi ketua komisi kaum wanita di gerejanya. Mengapa? Dia mengatakan bahwa dia mengundurkan diri dari posisinya karena prioritasnya tidak jelas. Dia memberi tahu saya bahwa baginya lebih mudah dan lebih berguna melayani wanita-wanita di gereja daripada memenuhi semua kebutuhan kedua anaknya yang sudah masuk pendidikan prasekolah dan suaminya yang ada di rumah.

Wanita lain yang melayani sebagai pemimpin musik dan pujian, serta penyanyi solo di salah satu persekutuan saya, meninggalkan persekutuan karena ia merasa bersalah akibat prioritasnya yang salah (bahkan, dia sudah berjalan ke telepon umum untuk menelepon suaminya dan meminta maaf kepadanya!). Lalu, ia memberi tahu saya bahwa tadi pagi, ketika dia berpamitan kepada suaminya sebelum meninggalkan rumah untuk menghadiri seminar "A Woman After God's Own Heart", dia benar-benar ingin mengucapkan kata "berpisah". Dia memberi tahu suaminya bahwa dia tidak akan kembali, selamanya. Syukurlah, dia pulang ke rumah sepulang dari seminar "A Woman After God's Own Heart"!

Dalam kedua kasus tersebut, wanita-wanita di atas memberikan apa yang jelas-jelas tidak mereka berikan kepada keluarganya kepada orang lain. Namun, saya menyebut dua orang ini, "luar biasa!" karena mereka menyadari prioritas mereka yang salah. "Puji Tuhan!" mereka mau melakukan hal yang benar. Sebagai istri, Anda harus melayani suami Anda lebih dahulu sebelum melayani orang lain. Hal yang penting di sini bukan apa yang dipikirkan jemaat tentang Anda, tetapi apa yang dipikirkan keluarga Anda tentang Anda. Bukan apa yang dibutuhkan orang-orang di gereja, tetapi apa yang diperlukan keluarga Anda di rumah. Itulah tugas, prioritas, dan hak istimewa istri!

Istri-istri yang terkasih, ketika orang-orang dan segala hal yang ada di rumah dirawat, dikasihi, dilayani, dan diurus baik-baik, hal itu juga akan terbawa ketika kita melayani di gereja, serta merawat dan memedulikan orang lain. Itulah yang dimaksud dengan istri yang berkenan di hati Allah.

2. Melayanilah dengan restu dan dukungan suami Anda.


Jika dan ketika Anda benar-benar ingin mendaftarkan diri dalam sebuah pelayanan atau menjadi sukarelawan untuk menolong beberapa urusan di gereja, tolong -- saya tekankan lagi, tolonglah -- mintalah izin kepada suami Anda terlebih dahulu. Hubungan Anda dengan suami Anda, kepatuhan Anda pada keinginannya dalam pernikahan Anda dan dalam kepemimpinannya atas Anda berdua sebagai pasangan, serta pelayanan Anda kepadanya harus "seperti kepada Tuhan" (Efesus 5:22) dan harus dilakukan "dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia" (Kolose 3:23).

Saya secara pribadi membuat kebijakan untuk tidak pernah melakukan apa pun atau mengambil proyek apa pun tanpa meminta masukan, pendapat, ide, dan persetujuan suami saya, Jim. Ini bukan karena saya takut kepada Jim atau memandangnya seperti figur orang tua. Bukan. Saya melakukannya karena saya lebih menghargai hubungan dan persahabatan yang kami miliki sebagai pasangan daripada keinginan saya untuk melakukan apa yang saya inginkan. Jadi, jika waktu saya digunakan untuk pelayanan, demikian juga waktu Jim. Jika uang saya digunakan untuk pelayanan, demikian juga uang Jim. Jika stres saya memengaruhi (seperti stres yang saya alami ketika pertama kali mendaftarkan diri untuk mengajar di kelas Alkitab bagi kaum wanita), stres tersebut tertular terhadap hidup Jim juga.

Anugerah Allah mengalir seiring ketaatan saya terhadap standar Allah bagi saya sebagai seorang istri, yaitu untuk menghormati suami saya dengan menghormatinya terlebih dahulu (Roma 12:10), menganggapnya lebih utama daripada diri saya sendiri (Filipi 2:3), dan sedapat mungkin hidup dengan damai bersama suami saya (Roma 12:18). Oleh karena itu, saya meminta pendapat dan persetujuan Jim untuk segala sesuatu, termasuk kesempatan-kesempatan dalam pelayanan. Saya tidak pernah menginginkan diri saya berada pada posisi penting dalam pelayanan (dalam segala hal) tanpa dukungan suami saya. Maka dari itu, saya hanya melayani dengan restu dan dukungan suami saya. Dengan begitu, saya dapat melayani dengan hati yang lega. Mengapa? Karena saya tahu Jim memimpin, dan berdoa untuk saya. Kami bersama-sama menyediakan dan menetapkan sebagian waktu dan energi kami yang berharga untuk pelayanan, yang artinya ini merupakan pelayanan bersama. Tentu saja, setelah itu kami mengevaluasinya. Namun, saya lebih sering membuat komitmen pelayanan hanya jika di dalam hati saya tahu bahwa saya mendapatkan dukungan suami.

Apa yang harus dilakukan istri jika suaminya mengatakan tidak (percayalah kepada saya, Jim pun sering kali berkata tidak)? Jika Anda menjadi istri dari suami yang seperti itu, saya katakan Anda harus bersyukur kepada Allah. Suami Anda adalah kunci yang membantu Anda untuk tetap memegang prioritas karena masukannya dapat menjadi alarm ketika ada hal-hal yang tidak seimbang. Arahannya adalah cara Allah menuntun Anda. Jadi, ketika Jim mengatakan tidak, saya pribadi bersyukur kepada Allah untuk suami yang mau memimpin dan memberi tanggapan. Setelah itu, saya menolak kesempatan pelayanan tanpa sakit hati. Mengikuti kehendak Allah dengan mengikuti kepemimpinan suami membuat saya, dan pelayanan saya, tetap berada di tengah kehendak Allah. Pernyataan "tidak" dan "ya" dalam area pelayanan sama-sama merupakan kehendak dan arahan Allah.

3. Melayanilah sebisa Anda.

Ketika Jim dan saya mulai ke gereja sebagai pasangan Kristen, kami tidak tahu apa pun tentang bagaimana kami melayani Tuhan, tentang Alkitab, atau tentang karunia rohani. Namun, dengan hati yang bersyukur kepada Juru Selamat, kami tahu kami ingin melakukan sesuatu. Jadi, kami melakukan segala sesuatu yang dapat kami lakukan! Kami mencuci piring setelah beramah-tamah dengan orang banyak. Kami menata kursi, melipat kursi, menumpuk kursi, dan memindahkan kursi ke tempat ibadah. Kami meletakkan lagu-lagu himne di bangku gereja dan membersihkan debu di ruang ibadah. Kami mencuci cerek dan panci saat pertemuan berlangsung. Kami menyapa orang yang datang untuk beribadah, memimpin kelompok Pemahaman Alkitab di rumah kami, mengantar jemaat-jemaat yang sudah lanjut usia ke gereja, membangun stan-stan yang longgar untuk pekan raya anak-anak, mengecat dan membersihkan taman, dan membantu memasang langit-langit kantor ketika ada penataan ulang di gereja kami. Satu per satu, daftar pelayanan berbagai bidang terus ditambahkan. Kami tidak perlu memiliki keahlian khusus untuk mengerjakan pelayanan-pelayanan yang luar biasa ini. Kami hanya perlu melakukannya dengan hati yang melayani.

Berikutnya, setelah kami bertumbuh dalam pengetahuan akan firman Allah, pelayanan kami pun ikut berkembang. Kami mengikuti kursus pelatihan untuk menjadi konselor dan mulai melayani di ruang doa setelah ibadah. Kami mengikuti kelas penjangkauan penginjilan dan bergabung dengan pelayanan perkunjungan. Kami mengikuti kursus pelatihan untuk guru sekolah minggu dan mulai membantu melayani anak-anak di kelas-kelas. Kami mengikuti kelas pelatihan pemuridan dan mulai melayani orang lain satu per satu. Kami mengikuti beberapa kursus pemahaman Alkitab dan mulai membagikannya di kelompok-kelompok kecil. Dan, selama mengikuti semua pelayanan dan kelas-kelas serta mengalami pertumbuhan rohani, kami menggunakan rumah kami. Setiap orang, siapa pun mereka, akan disambut di rumah kami, baik orang-orang yang berasal dari tempat-tempat di sekitar kami atau dari daerah lain di seluruh dunia!

Akan tetapi, bagaimana jika suami Anda tidak menginginkan Anda untuk melayani dengan cara-cara seperti ini? Pertimbangkanlah apa yang dapat Anda lakukan dalam situasi Anda. Saya tidak dapat menyebutkan bagi Anda, berapa banyak wanita yang saya kenal, yang membuat kue untuk pelayanan ... dari rumah. Wanita-wanita yang menyiapkan makanan untuk orang lain ... dari rumah, yang menelepon untuk mengatur beberapa pelayanan atau mengecek orang-orang yang bertugas ... dari rumah, yang menulis surat-surat dan catatan-catatan yang menguatkan ... dari rumah, yang mengetik daftar informasi gereja ... dari rumah, dan tentunya yang berdoa untuk orang lain di gereja dan orang-orang di seluruh dunia ... dari rumah. Cara-cara untuk menolong dan melayani dari rumah benar-benar tidak terbatas -- apabila Anda memiliki hati untuk melayani Tuhan!

Akhir kata, melayanilah sebisa Anda!

Sabtu, 19 Oktober 2013

Apa kata Alkitab Mengenai Perceraian dan Pernikahan Kembali?

Apapun pandangan / pendapat kita mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.”


Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komimen seumur hidup.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).


Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi.

Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).


Kontroversi mengenai apakah perceraian dan pernikahan kembali diizinkan oleh Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali.

Banyak penafsir Alkitab yang memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan.”


Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.

Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan “perzinahan” bisa berarti bermacam bentuk percabulan.

Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan kalau terjadi perzinahan.


Hubungan seksual adalah merupakan bagian integral dari ikatan penikahan, “keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24; Matius 19:5; Efesus 5:31). Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai.

Jika demikian, dalam ayat ini, Yesus juga memikirkan tentang pernikahan kembali. Frasa “kawin dengan perempuan lain” (Matius 19:9) mengindikasikan bahwa perceraian dan pernikahan kembali diizinkan dalam kerangka klausa pengecualian, bagaimanapun itu ditafsirkan.


Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tsb, izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah.

Mungkin saja ada contoh-contoh di mana “pihak yang bersalah” diizinkan untuk menikah kembali, namun konsep tsb tidak ditemukan dalam ayat ini.


Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai “pengecualian” lainnya, di mana pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan pasangan yang percaya.

Namun demikian, konteks ayat ini tidak menyinggung soal pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai.

Orang-orang lainnya mengklaim bahwa perlakuan sewenang-wenang (terhadap pasangan yang satu atau terhadap anak) adalah alasan yang sah untuk bercerai sekalipun Alkitab tidak mencantumkan hal itu. Walaupun ini mungkin saja, namun tidaklah pantas untuk menebak Firman Tuhan.


Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam perdebatan mengenai klausa pengecualian adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah merupakan izin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai.

Bahkan ketika terjadi perzinahan, dengan anugrah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni dan membangun kembali pernikahan mereka.

Tuhan telah terlebih dahulu mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan.


Di sinilah kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35). Menikah kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan.


Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya.

Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32).

Tuhan mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anakNya. Orang percaya yang bercerai dan/atau menikah kembali jangan merasa kurang dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal yang baik.

Jumat, 11 Oktober 2013

JANGAN ADA KATA CERAI

SUAMI :
1. Berfungsi menjadi pemimpin dengan baik.
2. Menjadikan Istri nomor satu dalam hidupnya.
3. Mengontrol emosi dan kebiasaan buruk.
4. Memuji hal-hal kecil dari Istri.
5. Menerima pendapat Istri.
6. Berani minta maaf.
ISTRI :
1. Menghargai Suami sebagai otoritas.
2. Menundukan diri kepada Suami.
3. Menampilkan kecakapan manusia batiniah.
4. Menunjukan rasa syukur kepada Suami.
Kebutuhan Seorang Suami :
1. Istri sebagai sahabat.
2. Rumah yang rapi.
3. Istri yang menarik
4. Saling menghargai.
Kebutuhan Seorang Istri :
1. Kasih dan penghargaan.
2. Diajak bicara.
3. Jujur dan terbuka.
4. Komitmen terhadap keluarga.
Ingat .......
  • Kepala keluarga yang berhasil dalam keluarga maka keberhasilan yang lain akan mengikuti.
  • Kepala keluarga yang gagal dalam keluarga maka kegagalan lain akan mengikuti.
  • Kebahagiaan perkawinan membutuhkan perjuangan yang tidak kenal lelah, dan membutuhkan kehadiran dan pertolongan Tuhan.
  • Berbahagialah mereka yang benar-benar menikmati hidup rumah tangga yang rukun dan damai, meskipun itu harus diperoleh dengan cucuran air mata.
  • Belaian tangan suami adalah emas bagi istri.
  • Senyum manis sang istri adalah permata bagi suami.
  • Kesetiaan suami adalah mahkota bagi istri.
  • Keceriaan istri adalah sabuk di pinggang suami.
  • Perbaikilah apa yang bisa diperbaiki sekarang sebelum terlambat. Cintailah pasangan yang telah Tuhan pilih untukmu 
TUHAN akan memberkahi Pernikahanmu..
Bagi yang belum Menikah mari kita berbagi, ini bisa menjadi bekal kelak bila anda menghadapi hidup Pernikahan.
 

Selasa, 08 Oktober 2013

Menyelamatkan Pernikahan Kristen dari Perceraian

Tidak dapat disangkal bahwa mempertahankan sesuatu itu lebih sulit dibandingkan dengan mendapatkannya. Rupanya, hal ini juga berlaku dalam pernikahan. Untuk melangkah menuju pernikahan mungkin bisa dikatakan lebih mudah ketimbang mempertahankan pernikahan yang sudah terbentuk. Ada banyak tantangan dan ujian yang terus mendera pernikahan sehingga banyak pernikahan yang akhirnya kandas karena tidak memiliki fondasi yang kuat. Untuk mencegah pecahnya pernikahan yang berujung pada perceraian, masing-masing kita harus duduk bersama dengan pasangan dan berbicara dari hati ke hati.

SEPULUH HAL YANG HARUS ANDA KETAHUI
Ini menyedihkan, tetapi nyata. Kita semua telah dipengaruhi oleh perceraian, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir-akhir ini, ada sebuah pernyataan, "Meskipun mungkin mengkhawatirkan untuk mendapati bahwa orang Kristen yang telah lahir baru lebih cenderung mengalami perceraian daripada orang lain, namun pola ini sudah ada sejak beberapa waktu. Yang lebih mengganggu lagi, mungkin, adalah ketika orang-orang tersebut mengalami perceraian, banyak dari mereka merasa bahwa komunitas orang percaya yang mereka miliki cenderung lebih memberikan penolakan daripada dukungan dan penyembuhan. Akan tetapi, penelitian juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan efektivitas pelayanan gereja terhadap keluarga. Tanggung jawab utama sebuah pernikahan adalah milik suami dan istri, tetapi tingginya kasus perceraian dalam komunitas Kristen memunculkan gagasan supaya gereja memberikan dukungan yang benar-benar praktis dan mengubah hidup kepada pernikahan."

Ingatlah sikap Allah tentang perceraian "Aku membenci perceraian" (Maleakhi 2:16). Saya berdoa agar tak seorang pun dari kita menganggap perceraian sebagai sifat sembrono atau tak acuh. Meskipun ada beberapa konsep atau prinsip penting yang dapat membantu mencegah pernikahan Kristen memasuki sidang pengadilan perceraian, di bawah ini adalah 10 prinsip yang saya percaya sangat bermanfaat:

1.  Buatlah komitmen yang tulus untuk hidup bagi Yesus Kristus. Dengan memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus, setidaknya ada tiga kesempatan penting yang langsung tersedia bagi Anda. Kesempatan itu antara lain:

  • Hubungan pribadi dengan Yesus Kristus memberi Anda pengertian mendasar tentang apa yang benar dan yang salah.
  • Hubungan pribadi dengan Yesus Kristus memberi Anda penghiburan pada waktu berduka atau ketika Anda merasa sedih.
  • Hubungan pribadi dengan Yesus Kristus dapat menolong mengarahkan hidup Anda yang berada di sudut dan membimbing Anda melewati sisi-sisi yang gelap.

2.   Komitmen pada pernikahan yang berpusat pada Kristus. Pernikahan yang berpusat pada Kristus paling tidak memperlihatkan tiga perilaku:

  • Pernikahan yang berpusat pada Kristus membuktikan kesabaran pada masa-masa stres dan penuh tantangan.
  • Pernikahan yang berpusat pada Kristus berjalan dengan hati yang penuh pengampunan, dan masing-masing pihak dapat melakukan sesuatu bagi pasangannya, yang hanya bermanfaat bagi pasangan itu saja.
  • Pernikahan yang berpusat pada Kristus itu tidak cepat marah dan memberi respons terhadap emosi tanpa keinginan untuk membalas dendam.
3.  Pernikahan Kristen menerima "apa pun keputusan yang ada". Pernikahan Kristen yang berusaha keras untuk mencegah perceraian memiliki hati Daniel dan setidaknya menunjukkan 3 perilaku:
  • Pernikahan Kristen menerima "apa pun keputusan yang ada" dengan menyatakan bahwa mereka bersedia melakukan apa saja untuk mencegah terjadinya perceraian.
  • Pernikahan Kristen menerima "apa pun keputusan yang ada" dan, seperti Daniel, menunjukkan keberanian dalam menghadapi kesulitan dan perselisihan pernikahan.
  • Pernikahan Kristen menerima "apa pun keputusan yang ada" seperti Daniel, dengan bertekun dalam "kondisi dan respons hati yang benar" -- ketika diuji untuk membuat keputusan yang mudah, tetapi salah tentang pernikahan, daripada keputusan yang sulit, tetapi benar.
4.   Pernikahan Kristen membuang kata 'perceraian' dari kamus mereka. Pernikahan Kristen yang berjuang keras untuk mencegah perceraian memahami bahwa menggunakan kata 'cerai' dalam pernikahan dapat mendorong mereka menuju pengadilan perceraian, paling tidak dengan 3 cara:
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa "Hidup dan mati dikuasai lidah" (Amsal 10:18-21 dan Yakobus 3:6).
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa selama Anda membicarakan tentang perceraian, maka perceraian akan menjadi sebuah pilihan.
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa ketika perbedaan pendapat meningkat, kita cenderung berada pada jalur yang lebih sedikit melawan. Itulah sebabnya, jika kita memikirkan tentang perceraian atau menyebut-nyebutnya, perceraian hanya akan mendapatkan sedikit perlawanan dari kita.
5.  Pernikahan Kristen yang tidak bercerai mengerti bahwa pasangan mereka tidak dapat memenuhi semua kebutuhan mereka. Pernikahan yang berpusat pada Kristus, yang menjauh dari perceraian, mengerti bahwa hanya Allah saja Pemenuh utama kebutuhan mereka, dalam 3 cara:
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa Allah yang memberi kita perlindungan dan tujuan dalam hidup.
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa Allah memenuhi kebutuhan fisik Anda dan memuaskan rasa lapar Anda akan kasih.
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa meskipun perkembangan masa kanak-kanak mereka mungkin tidak terpenuhi (nyata atau tidak nyata), mereka tidak boleh mengharapkan pasangan mereka untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi itu.
6.  Pernikahan Kristen yang tidak bercerai berjalan dengan hati yang mau mengampuni. Pernikahan ini menunjukkan pengampunan, setidaknya dengan 3 cara:
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa pengampunan dimulai sebagai pilihan hati dan tindakan dari kehendak bebas.
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa berjalan dalam pengampunan merupakan proses sehari-hari.
  • Pernikahan Kristen berjalan dalam pengampunan dan menjauh dari perselisihan dengan tidak menyerang kepribadian pasangan atau melukai mereka.
7.  Pernikahan Kristen yang tidak ingin bercerai tentu berhati-hati sehingga tidak melakukan penyerangan pribadi terhadap pasangan, dan mereka mengerti bahwa:
  • Pernikahan Kristen mengerti pentingnya penggunaan hikmat ketika menegur pasangan mereka, khususnya pada masa-masa frustrasi.
  • Pernikahan Kristen mengerti bahwa menyerang pasangan hanya akan "meninggikan situasi".
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa menggunakan kata-kata kasar atau melebih-lebihkan situasi hanya akan menurunkan kesempatan untuk menyelesaikan konflik.
8.  Pernikahan Kristen yang mencegah terjadinya perceraian dalam pernikahan mereka mengerti bahwa pasangan mereka adalah penolong mereka, bukan musuh mereka. Dengan demikian,
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa ketika mereka berbicara kasar tentang pasangan mereka, pasangan mereka menjadi musuh mereka.
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa pernikahan bisa menjadi sesuatu yang paling dekat dengan surga (penolong) atau sesuatu yang paling dekat dengan neraka (musuh).
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa memiliki harapan yang salah terhadap pasangan mereka, dapat mendorong pasangan mereka untuk menjadi musuh ketika harapan-harapan mereka tidak terpenuhi.
9.  Pernikahan Kristen yang tidak bercerai memahami kuasa pujian dan doa, khususnya doa syafaat bagi pasangan mereka. Mereka mengerti bahwa definisi doa syafaat dapat dikatakan sebagai berikut:
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa Yesus Kristus yang duduk di sebelah kanan Allah bersyafaat bagi kita.
  • Pernikahan Kristen memahami pentingnya mendoakan pasangan mereka (bersyafaat).
  • Pernikahan Kristen memahami pentingnya menjadi mediator antara Allah dan pasangan mereka (bersyafaat).
10. Pernikahan Kristen yang menghindar dari perceraian memahami bahwa nasihat sangat berguna, khususnya ketika konflik atau pendirian begitu menantang. Itulah sebabnya:
  • Pernikahan Kristen akan bersedia menolong orang lain dengan sukarela (Galatia 2:1-2).
  • Pernikahan Kristen akan mencari bantuan dari para ahli atau orang-orang yang memiliki kepemimpinan (Galatia 2:2-9).
  • Pernikahan Kristen memahami bahwa semua kebenaran adalah milik Allah (Yohanes 14:6)

Minggu, 25 November 2012

Kehadiran Anak dalam Keluarga

"Sudah mendapat momongan belum, Mbak/Mas?" Demikianlah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada pasangan suami istri setelah menikah. Bagi sebagian besar masyarakat, kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Sebuah pernikahan seolah belum lengkap tanpa kehadiran seorang anak karena anak dianggap sebagai anugerah besar yang Tuhan percayakan kepada pasangan menikah. Semoga dengan membaca artikel ini, Anda dapat menolong orang lain dalam memandang kehadiran anak dalam keluarga mereka dari sudut pandang Alkitab.

ANAK ADALAH ANUGERAH BAGI KELUARGA KRISTEN

Dalam pernikahan, anak merupakan tanda utama dari cinta yang saling berbalas antara pria dan wanita. Anak merupakan anugerah utama bagi keluarga Kristen. Ini merupakan penyempurnaan trinitas dari segitiga cinta yang ada dalam lingkaran keluarga yang intim. Perwujudan cinta mereka yang sakral secara lahiriah ini merupakan berkat dari Allah. Ini merupakan salah satu tujuan utama pernikahan dan tujuan hubungan suami istri itu sendiri. Sebagai konselor Kristen, kita terkadang menjumpai situasi yang memaksa kita untuk memberikan nasihat tentang cara membesarkan anak dan pada kasus yang lain, menghibur orang yang kehilangan anaknya. Situasi-situasi yang lain mencakup pengalaman yang dialami oleh pasangan yang frustrasi saat berusaha untuk bisa hamil. Masalah ini dan masalah-masalah lainnya menjadi masalah yang sensitif dalam konseling Kristen.

Pada intinya, kehadiran seorang anak dalam pernikahan dapat memenuhi banyak kebutuhan mendasar manusia. Pertama, dorongan biologis dan evolusioner manusia untuk mereproduksi gen bagi generasi berikutnya. Kedua, anak merupakan ekstensi rohani dari diri seseorang. Warisan seseorang tidak hanya melampaui masa hidupnya; ingatan dan berbagai tradisi seseorang akan terus dilanjutkan dari generasi ke generasi. Bukan hanya ciri-ciri fisik yang diturunkan seseorang kepada keturunannya, melainkan juga idealisme, agama, tradisi, dan nilai-nilai mereka. Ketiga, secara emosional seorang anak dapat memberikan penghiburan. Tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari kasih orang tua terhadap anaknya. Semua kebutuhan akan pengasuhan ini bersifat timbal balik. Orang tua akan merawat anak pada masa kecilnya dan anak akan merawat orang tua pada masa tua mereka.

Yesus Memahami Kehadiran Seorang Anak

Secara teologis, kehadiran anak merupakan satu bagian dan cikal bakal dalam penciptaan kehidupan. Ketika sepasang suami istri membagikan cinta mereka yang kuat, Allah memberkati mereka dengan kehadiran-Nya. Pada saat pembuahan, Allah menjamah sepasang suami istri dengan penciptaan jiwa yang bersamaan. Seorang pribadi yang utuh, tubuh dan jiwa pada saat itu tercipta dan menjadi perwujudan akhir dari cinta kasih sepasang suami istri.

Anak benar-benar merupakan anugerah yang besar dari Allah. Hal ini terlihat di seluruh Alkitab ketika para orang tua Perjanjian Lama diberkati dengan kesuburan; kisah-kisah yang menggambarkan sukacita besar atas kehamilan dari zaman Sara hingga Elizabet, dan bahkan ketika Maria mengandung Yesus dengan cara yang ajaib juga menggambarkan hal ini. Sukacita atas kehamilan seseorang sangat dihormati di lingkungan orang-orang Kristen dan seharusnya menjadi masa yang begitu membahagiakan. Konseling rohani harus menekankan sukacita ini dan menentang masyarakat yang "mati", yang menganggap kehamilan dan anak-anak sebagai hambatan untuk kehidupan materialis seseorang. Sebaliknya, keluarga Kristen seharusnya dengan mantap menyatakan kepada masyarakat bahwa anak-anak adalah berkat dan bukan gangguan.

Kesimpulannya, Kristus berkata, "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku dan bahwa untuk masuk ke dalam kerajaan surga, seseorang harus menjadi seperti anak kecil." Bagaimana mungkin sebuah keluarga tidak ingin dikelilingi oleh anak-anak yang tidak berdosa seperti itu? (t/Setya)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: AIHCP Health Care Blog
Alamat URL: http://www.aihcp.org/blog/the-gift-of-children-to-the-christian-family/
Judul asli artikel: The Gift of Children to the Christian Family
Penulis: Mark Moran, MA, GC-C, SCC-C
Tanggal akses: 29 Agustus 2012

RAHASIA HIDUP BAHAGIA SEKALIPUN TANPA ANAK

Semua pasangan menikah tentu menantikan hadirnya seorang anak karena anak adalah penerus garis keturunan keluarga dan penolong pada masa tua. Selain itu, anak merupakan bukti ikatan cinta kasih suami dan istri. Karenanya, orang tua dengan sukacita mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anak mereka. Dan, jika mereka tidak memiliki anak, mereka merasa gagal. Lalu, bagaimana jika sudah menanti cukup lama dan melakukan berbagai usaha, tetapi tetap tidak kunjung memiliki anak? Semoga langkah-langkah berikut bisa menolong suami istri tetap bahagia, meskipun tanpa kehadiran anak.

- Pernikahan Memang Tidak Selalu Memiliki Anak
Salah satu tugas yang diberikan kepada manusia adalah "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi". Artinya, manusia harus berkembang biak. Akan tetapi, Kejadian 2:24 menunjukkan bahwa pernikahan menuntun kepada kesatuan, namun hasil dari kesatuan, yaitu anak, tidak dituliskan. Jadi, secara umum manusia memang harus berkembang biak, tetapi kesatuan suami istri lebih penting. Karena itu, jika suami istri tidak memiliki anak, jangan berpikir bahwa pernikahannya gagal. Ketika sebuah pernikahan tidak memenuhi maksud umum Allah untuk beranak cucu dan bertambah banyak, mungkin Allah mendesain pernikahan itu untuk tugas khusus.

- Mengenali Tugas Khusus

Daripada terus merasa gagal, tidak sempurna, atau bersalah; suami istri sebaiknya mencari apa maksud Allah dengan tidak memberikan keturunan kepada mereka. Adakah tugas khusus yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan?

Tuhan kadang mengizinkan sepasang suami istri tidak memiliki anak agar hidupnya menghasilkan buah yang banyak bagi Dia. Tuhan menugaskan mereka untuk menggerakkan organisasi-organisasi dan beberapa orang untuk melakukan proyek pembinaan karakter, pertolongan bagi ketidakadilan, atau pengentasan kemiskinan. Jika mereka memiliki anak, mereka belum tentu bisa melayani seefektif itu.

Meskipun begitu, tidak berarti tugas yang dilakukan pasangan tanpa anak harus dalam skala besar. Mereka bisa memberikan dukungan keuangan sambil memantau perkembangan jiwa anak-anak kurang mampu atau yatim piatu. Mereka tidak harus menarik anak-anak untuk menjadi keluarga mereka, mereka bisa mengunjungi anak-anak untuk berbincang dan melakukan pembinaan. Tugas khusus lainnya adalah melakukan riset-riset sulit dan penting untuk kepentingan umum. Misalnya, melakukan penelitian terhadap penyakit-penyakit yang belum ada obatnya (seperti HIV/Aids, kanker, atau TBC) dan persoalan-persoalan masa depan (seperti menyusutnya pangan, energi, maupun kerusakan lingkungan). Tugas-tugas besar ini membutuhkan pencurahan waktu, tenaga, dan uang. Dan, orang-orang yang tidak memiliki anak akan lebih leluasa melakukannya. Dengan tugas khusus ini, walaupun sepasang suami istri tidak memiliki anak, mereka sedang menyelamatkan hidup banyak anak.

- Mengadopsi Anak
Pilihan untuk mengadopsi anak itu baik. Namun, perlu dipikirkan bagaimana mengasuh dan memeliharanya, bagaimana menjalin relasi dengan orang tua biologis mereka, dan kapan memberi tahu anak tentang identitasnya. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan bentuk komunikasinya, supaya anak adopsi tidak merasa terbuang.

Apabila Anda ingin mengadopsi anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya atau yang dititipkan di rumah yatim piatu, Anda perlu mengenali masa lalu si anak dengan baik dan mempertimbangkannya dengan matang. Karena, bisa saja orang tua biologis si anak berniat buruk dengan memantau dari jauh dan suatu saat melakukan pemerasan. Selain itu, Anda harus memerhatikan aspek legal. Buatlah akta adopsi sehingga kedudukan relasi orang tua anak menjadi kuat.

- Hidup Benar dan Tidak Terluka

Karena tidak memiliki anak, beberapa pasangan sering merasa terluka, marah kepada Tuhan, dan menyalahkan pasangan. Hal ini sangat tidak baik karena akan merusak diri sendiri dan pernikahan. Ketika pernikahan tidak dikaruniai anak, baik karena kemandulan salah satu pasangan atau keduanya, sebaiknya masing-masing mau menerima kenyataan dengan ikhlas dan saling menguatkan serta menerimanya sebagai kedaulatan Allah untuk mereka berdua. Pasangan suami istri harus saling menguatkan, lalu mencari tahu apa tugas yang mereka emban dengan ketidakhadiran anak tersebut. Seperti Zakharia dan Elisabet yang tetap hidup benar di hadapan Allah, meskipun tidak memunyai anak. Kehidupan yang benar akan membuat pasangan suami istri menjadi berkat bagi banyak orang. Mereka menjadi teladan bagi banyak pasangan yang bergumul dengan ketidakhadiran anak.

Jangan sampai meninggalkan pasangan karena ia mandul. Hanya orang-orang yang tidak dewasa, yang tidak memiliki kasih dan komitmen sejati, yang membesar-besarkan masalah itu dan meninggalkan pasangannya.

- Terus Berharap, Tetapi Tidak Memaksa

Bagi pasangan yang belum dikaruniai anak, tentu boleh berharap. Apalagi, jika hal itu terjadi karena alasan medis yang tidak bisa ditanggulangi. Tetaplah berharap sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah. Zakharia dan Elisabet pun terus berharap dan semakin tekun berdoa. Akhirnya, mereka mendapatkan anak. Dalam hal ini, yang penting adalah jangan memaksa Tuhan. Berdoalah dengan terbuka, tetapi tidak berfokus pada persoalan anak. Lanjutkan hidup yang berguna bagi sesama dan kehidupan.

- Menyiapkan Hari Tua
Daripada terus bersedih karena tidak memiliki anak, pasangan suami istri sebaiknya mempersiapkan masa tua mereka dengan baik. Karena itu, selama masih sehat, gunakanlah waktu sebaik mungkin untuk mempersiapkan keuangan untuk pembiayaan hari tua yang akan dilalui dengan tinggal di rumah keluarga/biaya panti jompo.

Selasa, 16 Oktober 2012

PERNIKAHAN DI MATA TUHAN

Dalam ceramah yang berkaitan dengan memilih pasangan hidup, kadang saya mendapat pertanyaan, "Bolehkah menikah dengan orang yang tidak seiman?" Sesungguhnya, jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada bagaimanakah kita memandang pernikahan itu sendiri. Jika kita memandang pernikahan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan, keharmonisan rumah tangga, menyambung keturunan, dan menjadi wadah yang sehat bagi pertumbuhan anak-anak, maka jawabannya adalah "Tidak boleh". Demikian juga sebaliknya. Jadi, bagaimanakah seharusnya kita memandang pernikahan? Pada dasarnya, kita harus memandang pernikahan dari sudut pandang kemuliaan Tuhan. Firman Tuhan dalam Efesus 1:5-6, 12 berkata, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita ... supaya kami yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya."

Hidup kita seyogianya menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Dan, bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, sudah selayaknyalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Berikut akan dipaparkan bagaimanakah pernikahan dapat menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan.

Pertama, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup. Kita mesti mengutamakan kehendak Tuhan saat memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami atau istri kita. Pada dasarnya, pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa "yang kita anggap baik" atau melakukan apa "yang TUHAN anggap baik". Mungkin orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik buat kita. Namun, ia tidak seiman dan tidak memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Nah, dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya. Apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita akan menaati-Nya? Pada akhirnya, keputusan apa pun yang diambil bergantung pada apakah kita dapat mengatakan bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita dapat mengatakan bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau lebih benar daripada perintah Tuhan.

Berkenaan dengan pernikahan, dalam 1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 tertulis dengan jelas perintah Tuhan untuk kita anak-anak-Nya, "... ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asal orang itu adalah seorang yang percaya. Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya ...." Nah, bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi daripada perintah Allah. Jadi, sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap saja itu bukanlah yang terbaik.

Kedua, ketaatan pada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan. Adakalanya kita mengidentikkan "menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan" dengan kegiatan pelayanan. Sudah tentu keterlibatan dalam pelayanan adalah sesuatu yang baik dan menyenangkan hati Tuhan. Namun, pada akhirnya kita harus menyadari bahwa yang terpenting bukan kegiatan melainkan ketaatan. Kita bisa giat dalam pelayanan, tetapi belum tentu bisa taat dalam pernikahan. Meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian ketaatan, beberapa di bawah ini mungkin dapat mewakili sebagian di antaranya.

Apa yang kita lakukan ketika sesuatu yang kita inginkan tidak didapatkan, memperlihatkan seberapa besar ketaatan kita pada kehendak Tuhan. Apa yang kita perbuat seharusnya atas nama kasih. Ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang diberikan, melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan. Mungkin ada banyak hal yang ingin kita kerjakan dalam hidup ini, dan kita berharap pasangan dan bahkan anak-anak akan memberikan dukungan untuk meraih impian. Namun, adakalanya hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, malah kita yang dituntut untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi pasangan atau anak-anak. Ternyata, menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan acap kali terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih impian, melainkan dengan pengurbanan kita melepaskan impian. Saat kita melepaskan impian, Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang sungguh-sungguh membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.

Kesimpulan :

Sebagaimana hal lainnya dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi, persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan kita Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri.